Secara
historis, Tasawuf telah berkembang sejak
awal kelahiran Islam ( sekitar abad pertama dan kedua Hijriyyah atau abad VIII
Masehi) tetapi masih dalam bentuk kehidupan (belum menjadi sebuah ajaran). Pada
periode ini ada sejumlah orang yang mengonsentrasikan hidupnya pada kehidupan
yang lebih abadi di akhirat seperti Salman al-Farisi, Sufyan at- Tsauri dll.[1]
Anjuran al-Ghozali yang mewajibkan orang-orang yang menempuh jalan tassawuf minta bimbingan kepada seorang guru, dalam perkembangannya melahirkan ‘orde-orde tarekat’ yang bertebaran ke serata pelosok alam islami. Gerakan-gerakan tarikat sebagai bentuk pengawaman dan pemasyarakatan terakhir dari ajaran tasawuf, amat berjasa bagi penyebarluasan islam. Namun, konsep pengkeramatan (pemitosan) pada guru membinasakan daya kritik pemikiran Islam. Maka semenjak meluasnya ajaran orde-orde tarikat, kemerosotan kualitas pemikiran Islam tak bisa dihindarkan lagi. Dalam masa merosotnya kualitas pemikiran Islam yang bermula dengan runtuhnya kota Baghdad 1258 M., orde-orde tarikatlah yang memainkan peranan meluaskan penyebaran Islam ke wilayah timur sampai ke Nusantara.[2]
- Masuknya Tasawuf di Nusantara
Banyak
sarjana yang mengkaji sejarah perkembangan Islam di Indonesia berpendapat bahwa
sufi memainkan peran utama dalam Islamisasi di kepulauan Indonesia. Bahkan,
Victor Tanja menulis, bahwa islam yang berkembang di kepulauan Indonesia adalah
sufisme. Anthony H. John juga berpendapat bahwa sufisme secara langsung
terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Dari abad 13-18 Masehi, menurut
John, aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran
Islam di Indonesia. Hal ini sesuai dengan dominan tarekat sufi di dunia islam
setelah kejatuhan Baghdad pada 1258 Masehi. Para tokoh sufi selanjutya bergerak
meninggalkan Baghdad dan mencari daerah-daerah damai di sebelah Timur dan
dimana mereka bisa melanjutkan ajarannya dan menarik anggota baru.[3]
Menurut James
Peacock dalam Purifying The Faith (1979), islam yang datang ke Jawa
adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap kedalam sinkretisme
Jawa. Keberadaan Suluk Wujil, Primbon Bonang, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa,
Suluk Sujinah, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Pustaka Rancang, Serat Dewa Ruci, dan
Serat Cabolek menunjukkan bukti bahwa perkembangan islam di Jawa khususnya
di era Wali Songo lebih didominasi oleh paham kesufian. Serat Dewa Ruci
yang di kaitkan oleh tokoh Sunan Kalijaga, misal, pada dassarnya merupakan
pengembangan nasskah Nawa Ruci, karya spiritual Hindu-Budha yang ditulis
pada masa majapahit yang kemudian dimasuki paham-paham kesufian sedemikian rupa
sehingga naskah Serat Dewa Ruci Seolah-olah karya baru pada zaman Islam.[4]
Sejauh yang
dapat diketahui dalam penelusuran aliran aliran tasawuf paling awal yang masuk
ke Nusantara, aliran tasawuf yang berkembang paling awal adalah Akmaliyah,
Syatariah dan lain-lain. Diantara tokoh pada era Wali Songo yang secara terbuka
mengajarkan tarekat adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut dengan
gelar Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar.[5]
Bila
membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Nusantara, Aceh merupakan
wilayah yang tidak bisa ditinggalkan khususnya dari sejarah indonesia. Untuk
itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi
paling atas karena nantinya yang akan mewarnai perkembangan tasawuf di
Nusantara. Menelusuri aliran-aliran yang ada di nusantara, maka hal ini tidak
bisa lepas dari andil tokoh-tokoh yang belajar di Timur tengah umtuk mendalami
ilmu Tasawuf. Diantara para pelopor aliran tasawuf nusantara yang belajar di
timur tengh antara lain: Nuruddin
ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdur Rouf As-Sinkili, dan Syamsuddin al-Sumatrani.
Dalam sejarah
Tasawuf Nusantara paham tasawuf yang pertama kali masuk di nusantara adalah
tasawuf model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan
ajaran syariat. Hal ini disebabkan adanya kemiripan antara ajaran yang dianut
masyarakat pra-islam dengan ajaran tasawuf model ini.
Ajaran
kosmologi dan metafisis tasawuf ibn Arabi yang dibawa Hamzah Fansuri dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide
sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat.
Konsep insan al-kamil, sebagaimana dikemukakan oleh A.C Milner, sangat
potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja, yang mana tidak
dikemukakan dalam islam yang berkembang pada masa sebelumnya, yang lebih
egaliter[6].
Pemikiran
sufisme Aceh abad 17 ini amat diwarnai faham “martabat tujuh” dari ajaran sufi
India, Muhammad ibnu Fadhillah al-Burhanpuri. Dan martabat tujuh yang mewarnai
sufi aceh ini pengaruhnya menyebar ke Jawa Barat dan mewarnai pemikiran Islam
Kejawen yang berkembang di Surakarta hingga abad ke 19 M.[7]
Adapun
martabat tujuh yang terdapat dalam kitab al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh
al-Nabiy karya Muhammad ibn Fadhillah al-Burhanpuri merupakan pengembangan
dari paham Wahdatul Wujud ibn Arabi. Martabat tertinggi disebut dengan Ahadiyah
(Ke-esa-an yang murni, yaitu zat semata). Tingkat di bawahnya Wahdah,
(ke-esa-an yang mengandung kejamaan dan hakikat ke-Muhammad-an, yang disebut
Nur Muhammad). Martabat Wahdah ini juga disebut dengan Ta’yun awwal, yakni
ibarat allah pada zat dan sifat-sifatNya sendiri serta segala yang wujud ini
secara global, tanpa pemisahan satu terhadap yang lain. Martabat di bawahnya
adalah Wahidiyah (ke-esa-an yang terperinci), dan disebut pula dengan
hakikat manusia. Martabat ini disebut dengan Ta’yun tsani, yakni ibarat
ilmu allah terhadap zat dan ssifat-sifatNya serta terhadap segala yang ada ini
secara terperinci dan terpisah satu sama lain. Ketiga martabat tersebut
bersifat Qodim dalam arti Taqdim dan Ta’khir secara
definitif bukan waktu.
Di bawah ketiga martabat di atas adalah martabat alam arwah, yaitu ibarat segala sesuatu dari yang ada di alam ini dalam keadaan murni dalam keadaan yang atomis zatnya. Satu tingkat di bawahnya lagi adalah alam misal, yaitu ibarat segala sesuatu kebendaan tersusun dalam susunan yang halus sehingga tak bisa dipisah-pisah dengan yang lainya. Di bawah alam ini adalam martabat alam jism (ke-benda-an), yakni, ibarat ke-benda-an tersusun yang tampak tebal tipisnya, sehingga bisa dipotong potong atau dipisah-pisahkan bagianya. Martabat paling bawah adalah martabat alam insan. Martabat ini mencakup semua martabat di atas, baik yang rohani (nurani) dan jasmani, Wahdah dan Wahidiyah, yang ilahi dan yang tampak dalam berbagai pakaian.[8]
- Perkembangan Tasawuf di Nusantara
Sejak kedatangan Islam ke
nusantara telah tampak unsur-unsur tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi
bagian tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.
Semenjak
kedatangan Islam di Nusantara paham Tasawuf mulai mewarnai kehidupan masyarakat
pribumi. Para pelopor dakwah di Indonesia,
pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada orang-orang kala itu yang masih
menganut Hindu-Budha. Setelah mereka memeluk Islam para da’i menunjukkan cara
terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi spiritualitas dan
moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik, pendidikan dilancarkan agar
terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-sifat
tercela. Meskipun para da’i tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam
melaksanakan dakwah mereka namun sebenarnya mereka mempraktekkan tradisi dalam
tasawuf, sebab tasawuf mengarahkan pada moralitas agama. Hal demikian
yang telah dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia seperti Wali Songo dan
Syekh Siti Jenar.[9]
Sekitar abad ke 15-16 M.
Wali songo sangat berperan penting dalam menyebarkan Islam di Bumi Nusantara.
Para wali sembilan tersebut tidak lepas menggunakan tasawuf dalam menyebarkan
Islam di Nusantara. Adapun bukti bukti yang dapat kita lihat adalah beberapa
karya dari Wali songo yang bernuansa Tasawuf. Antara lain Suluk Wujil, sebuah
karya sastra sufistik yang dibuat oleh
Sunan Bonang. Poerbatjaraka dalam sebuah tulisan yang berjudul “De Geheime
Leer van Soenan Bonang (Soeloek Wudjil)” yang dimuat dalam Majalah Djawa
vol. XVIII tahun 1938, menyimpulkan bahwa ajaran tasawuf yang disampaikan sunan
Bonang dalam Suluk Wujil sifatnya rahasia (esoteris). Ungkapan Suluk Wujil yang
bisa digolongkan rahasia, adalah yang menyangkut bahasan hakikat Ketuhanan.
Selain itu Sunan Bonang juga mempunyai sebuah naskah Primbon Bonang (Het
Boek van Bonang). Isi Primbon Bonang sejatinya lebih merupakan ikhtisar bebas
dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya al Ghozali dan kitab Tamhid ( fi Bayan at Tauhid wa Hiddayati li Kulli
Mustarasyid wa Rosyid) karya Abu Syakur bin Syuaib al Kasi
al Hanafi al Salimi. Pembahasan dalam primbon tersebut bersifat dialogis berupa
tanya jawab antar guru dengan murid.
Diantara Wali Songo lain, Sunan Kalijaga
juga memainkan dakwahnya dengan metode pendekatan sufistik melalui karya
sastra, antara lain adalah Serat Dewa Ruci, Suluk Linglung atau Suluk Syaikh
Malaya. Serat Dewa Ruci adalah hasil Modifikasi yang dilakukan oleh Sunan
Kalijaga dari cerita Lakon Nawa Ruci dari Hindu-Budha. Lakon Dewa Ruci ini
mengisahkan tentang perjalanan ruhani yang dilakukan oleh Bima mencari
kebenaran di bawah bimbingan dari Baghawan Drona sampai ia bertemu dengan Dewa
Ruci. Sedangkan dalam Suluk Linglung mengisahkan pengalaman ruhani yang dialami
Syaikh Malaya (Sunan Kalijaga) dengan nabi Khidir sewaktu memasuki alam yang
terbalik dengan alam dunia. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani
yang mengajarkan tarekat Syatariyah dari Sunan Bonang yang sampai sekarang ini
masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di Nusantara.[10]
Menurut Khan Sahib Khaja Khan (1987),
dikalangan sufi terdapat dua paham pemikiran besar yang dianut oleh tarekat
tarekat sufi. Salah satunya adalah Paham Wujudiyah, paham ini dikenal
dengan sebutan Wahdatul Wujud. Para penganut paham ini berkeyakinan
bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat
pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-nya.
Di Nusantara, tokoh paham Wujudiyah dari
penyebar dakwah islam era Wali Songo yang terkenal adalah Syaikh datuk Abdul
Jalil yang masyhur disebut dengan gelar Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti
Jenar. Seperti nasib penyebar Wujudiyah al Hallaj, tokoh Syaikh Lemah
Abang dalam historiografi Jawa
dikisahkan dijatuhi hukuman bunuh oleh Wali Songo. Seorang murid Syaikh Lemah
Abang yang menjadi penguasa pengging, Kebo Kenongo yang masyhur disebut Ki
Ageng Pengging, juga dikisahkan dibunuh oleh Sunan Kudus yang dituduh makar
terhadap Sultan Demak. Namun, dengan terbunuhnya Syaikh Lemah Abang dan Ki
ageng Pengging Paham Wujudiyah tidak serta merta hilang karna belakangan muncul
tokoh-tokoh Wujudiyah lain seperti Pangeran Panggung, Syekh Amongraga, Kyai
Mutamakkin dan lain-lain.
Pada generasi Islamisasi mungkin bisa
dibilang banyak penyebar Islam Nusantara yang bernafaskan Tasawuf tapi sedikit
yang tercatat, lain halnya dengan para Sufi dari aceh. Pada abad ke 16-17 M.
banyak sekali sufi yang bermunculan antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin
al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrouf al-Sinkili. Dari tokoh-tokoh
diatas nantinya tasawuf mulai berkembang pesat di Nusantara. Pengaruhnya pun
tidak hanya di wilayah Jawa, namun juga hingga ke Negeri Perak, Perlis,
Kelantan, Terengganu dan lain lain.
Pada masa ini nantinya tasawuf akan
didominasi oleh faham heterodoks Wahdatul Wujud dari Ibnu ‘Arabi. Namun,
disamping itu juga muncul ajaran-ajaran yang berasal dari al Ghozali yang lebih
ortodoks dan menghargai Syariat. Yang
mana pengaruh dari faham yang dibawa al-Ghozali perlahan akan mendesak faham
Wahdatul Wujud dari Ibnu ‘Arabi.[11]
Beberapa sumber pribumi yang kita punyai
secara tegas mengemukakan bahwa terekat-tarekat mendapatkan pengikutnya,
pertama-tama, di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke
kalangan masyarakat awam. Tarekat dipandang sebagai sumber kekutan spiritual,
sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja.
Menjelang abad ke 18, berbagai tarekat
memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara. Orang-orang yang baru kembali
dari Mekah dan Madinah menyebarkan tarekat Syatariyah, sering kali dengan
perpaduan dengan Naqsyabandiyah atau Kholwatiyah. Memang, sepanjang abad itu
tarekat Rifa’iyah dan Qodiriyah sudah tersebar. Yang pertama berkaitan dengan
kultus kekebalan tubuh yang disebut debus, yang sisa-sisanya dapat
dijumpai di Aceh, Minangkabau, Banten, Cirebon dan Maluku. Yang kedua mungkin
di tempat-tempat tertentu juga mempunyai hubungan dengan debus, tetapi
dampaknya paling mencolok adalah munculnya kultus terhadap wali pendirinya,
Syaikh Abdul Qodil al Jilani.
Barangkali tarekat pertama yang memperoleh
banyak pengikut di Nusantara yang benar-benar dapat dimobilisasi adalah tarekat
Sammaniyah. Di Kalimantan selatan pada tahun 1860-an, belanda menghadapi
perlawanan serupa dari gerakan rakyat yang kuat yang menjalankan amalan-amalan
bercorak sufi yang disebut beratip beamal dimana kita mungkin dapat juga
menyaksikan adaptasi setempat dengan tarekat sammaniyah.
Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20
tarekat mengambil bagian dalam pemberontakan antikolonial. Salah satu
pemberontakan yang paling besar terhadap pemerintah belanda terjadi di Banten
(Jawa Barat) pada tahun 1888; disini tarekat Qodiiyah wa Naqsyabandiyah-lah
yang terlibat. Tarekat lain yang
memperoleh banyak pengikut di Nusantara selama masa tersebut adalah tarekat
Ahmadiyah, salah satu tarekat yang berasal dari salah satu sufi dari maroko,
Ahmad ibn Idris. Sekitar Akhir tahun
1920-an ada dua tarekat baru di Jawa, yakni tarekat Tijaniyah dan Idrisiyah. [12]
Selain banyak tarekat yang berasal dari
luar, di Nusantara sendiri juga mempunyai beberapa tarekat lokal. Pada abad ke 19 ada satu tarekat lokal
yang nampaknya berpengaruh, tarekat tersebut adalah tarekat Akmaliyah (atau
Haqmaliyah), yang memperoleh banyak pengikutnya di Cirebon-Banyumas. Beberapa
mursyid awal tarekat Akmaliyah ini, adalah Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga,
dan belakangan Sultan Agung hanyokrokusumo[13]
Sejumlah tarekat lokal, baru muncul di Jawa Timur setelah kemerdekaan, yang paling terkenal diantaranya adalah tarekat Syiddiqiyah dan Wahidiyah. Tarekat Syiddiqiyah sendiri dipimpin oleh Kiai Muhtar dari Ploso, Jombang (Jawa Timur. Adapun tarekat Wahidiyah didirikan oleh Kiai Abdul Madjid Ma’ruf dari pesantren Kedunglo di Kediri pada awal tahun 1960-an.[14]
- Tokoh-Tokoh Pengembang Tasawuf di Nusantara
1.
HAMZAH
FANSURI
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama
sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16 M. Ia 'berasal dari Barus
(sekarang berada di provinsi Sumatera Utara). Nama 'al-Fansuri' sendiri berasal
dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah
dekat kota bersejarah Barus.
Hamzah Fansuri merupakan sufi
pertama yang mengajarkan tasawuf berpaham wujudiyah (panteisme) di Nusantara.
Tasawuf paham wujudiyah diperoleh Hamzah Fansuri dari Ibnu ‘Arabi, Abu Yazid
al-Bisthami, al-Hallaj, al-Rumi, al-Attar, al-Jami, dan lainlain[15].
Beliau mempunyai banyak karya-karya di bidang tasawuf seperti Asror
al-Arifin dll. Tetapi karya-karya beliau sulit ditemukan dizaman sekarang,
karena banyak karya beliau yang telah
dimusnahkan oleh pihak yang menentang ajarannya[16].
Ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dapat diringkas sebagai
berikut,
Pertama, pada hakikatnya
zat dan wujud Tuhan sama dengan wujud Alam. Kedua,
tajalli alam dari dzat dan wujud
Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad pada hakikatnya adalah nur Tuhan. Ketiga,
Nur Muhammad adalah sumber dari ciptaan ,dan pada hakikatya wujud dan dzat
ciptaan itu adalah wujud allah. Keempat, Manusia sebagiai
mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan diri dengan tuhan dengan tarkud
dunya. Kelima Usaha tersebut harus dipimpin oleh guru yang
berilmu. Keenam Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan
tuhan adalah ma’rifat yang sebenar-benarnya dan mencapai taraf ketiadaan diri (fana’
fi Allah)[17]
2.
SYAMSUDDIN
as-SUMATRANI
Syekh Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama
besar Aceh Yang hidup pada abad 16 dan wafat pada abad 17 Masehi.
Beliau
merupakan murid dari ulama besar Hamzah Fansuri, dibuktikan dengan adanya dua
karya Syamsuddin Sumatrani yang tentang ulasan atau syarah terhadap ajaran
Syekh Hamzah Fansuri yaitu Syarah Ruba’i Hamzah
Fansuri dan Syarah Ikan tongkol.
Ajaran Syekh
Syamsuddin tidak berbeda dengan ajaran Syekh Hamzah, dimana keduanya merupakan
tokoh utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud , yang bersifat
sufistik-filosofis.[18]
3.
NURUDDIN AR-RANIRI
Beliau memmpunyai
nama lengkap Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi al-‘Aidruisi.
Nama Ar-Raniri yang melekat pada dirinya merupakan nama daerah tempat beliau
dilahirkan yaitu Ranir, salah satu kota di India.
Ayahnya merupakan keturunan
Hadramaut dan ibunya merupakan keturunan Melayu. Walaupun beliau dilahirkan di
Ranir, India, tapi secara umum beliau dianggap sebagai seorang ‘alim Melayu-Indonesia,
dari pada India atau Arab. Nuruddin pun mencari puncak karirnya di kepulauan
Melayu-Indonesia, tepatnya di Aceh.
Al-Raniri datang
di Aceh pada 1407 H/ 1631 M, pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641
M.). Beliau merupakan ulama sufi yang menentang ajaran dan ide-ide Hamzah
Fansuri maupun Syamsuddin, yang dipandang beliau sesat atau bid’ah.
Sejumlah tulisan
penting karya Al-Raniri dicurahkan sepenuhnya pada polemik ini dan menolak apa
yang dia pandang sebagai tulisan-tulisan syirik Hamzah dan Syamsuddin serta
pengikutnya. Diantara karya itu adalah Jawahirul Ulum fi kasyf al-Ma’lum, yang
di dalamnya ditegaskan secara jelas posisi al-Raniri dan sebuah kritikan tajam
terhadap ajaran-ajaran pendahulunya.
Meskipun Al-Raniri menolak keras
tentang ajaran wahdatul wujud perlu dicatat, bahwa beliau sebenarnya tidak
menentang semua bentuk penafsiran doktrin wahdatul wujud. Beliau
membedakan doktrin ini menjadi dua macam. Yang pertama, wajudiyyah mulihid, yaitu
kesatuan wujud ateistik yang dalam pandangannya merupakan ajaran sufisme yang bathil.
Kedua, wujudiyah muwahhid, kesatuan wujud unitarianistik yang menurut
Ar-Raniri merupakan ajaran sufisme yang baik dan benar. [19]
4.
ABDUR
ROUF AS-SINKILI
Ulama lain yang mendominasi Kesultanan Aceh
pada paroh abad 17, adalah Abdur al-Rouf bin Ali Al-Fansuri al-Sinkili
(1024-1105 H/ 1615-1693 M), lebih dikenal Abdur Rouf Sinkel atau al-Sinkli.
Beliau merupakan seorang tokoh ulama yang terus menghubungkan Islam di
Kepulauan Melayu-Indonesia dengan Islam di Timur Tengah. Inti ajaran beliau adalah keharmonisan antara
syariat dengan aspek sufistik Islam. Sufisme harus selalu bergandengan dengan
Syariat. Beliau percaya bahwa hanya dengan kepatuhan total pada syariat para
penganut jalan sufistik dapat memperoleh pengalaman sejati tentang haqiqat.
Perlu diketahui, bahwa As-sinkili
berbeda dengan Ar-Raniri dalam menegakkan keharmonisan antara haqiqat dan
syariat. As-Sinkili merupakan tipe ulama yang moderat, pendamai, dan menjauhi
sifat-difat radikal. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan-pandangannya
terhadap wujudiyyah yang lebih tersirat daripada tersurat.[20]
B. KESIMPULAN
Semenjak kedatangan Islam, Nusantara mengalami wajah baru dengan tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya. Bisa dikatakan dengan kemjuan seperti itu terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai andil besar, seperti Wali Songo, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdur Rouf Sinkel yang telah mengenalkan Tasawuf di kepulauan Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Bruinessen,
Martin van, Kitab Kuning, Pesaantren, dan Tarekat: tradisi islam di
Indonesia Bandung : Mizan, 1999
Huda, Nor, Islam Nusantara, Jogjakarta: Ar-Ruz
Media, 2014.
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemeurniannya, Jakarta: Panjimas, cet.
12, 1993.
Sunyoto,
Agus , Atlas Wali Songo, Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, 2018.
Yustiono, Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu,
Kini dan Esok, Bandung: Yayasan Festival Istiqlal, 1993.
Aryuita, Pengantar Tasawuf Nusantara, dalam http://aryunitablangpidie.blogspot.com/2013/01/pengantar-tasawuf-nusantara.html,
diakses pada 24 Desember 2021
Bashri, Hasan, Tarekat Akmaliyah dan Malamtiyah di
Jawa,dalam langgar.co/tarekat-akmaliyah-dan-malamatiyah-di-jawa/,
diakses pada 25 Desember 2021
Iqbal, Muhammad,, Konsep Tasawuf
Menurut Syekh Hamzah Fansuri, dalam https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/65757347/KONSEP_TASAWUF_MENURUT_SYEKH_HAMZAH_FANSURI-with-cover-page-v2.pdf, diakses
pada 24 Desember 2021
Editor: Ibnu Hajar