Friday 10 June 2022

Tasawuf Di Bumi Nusantara


 

Secara historis, Tasawuf  telah berkembang sejak awal kelahiran Islam ( sekitar abad pertama dan kedua Hijriyyah atau abad VIII Masehi) tetapi masih dalam bentuk kehidupan (belum menjadi sebuah ajaran). Pada periode ini ada sejumlah orang yang mengonsentrasikan hidupnya pada kehidupan yang lebih abadi di akhirat seperti Salman al-Farisi, Sufyan at- Tsauri dll.[1]

Anjuran al-Ghozali yang mewajibkan orang-orang yang menempuh jalan tassawuf minta bimbingan kepada seorang guru, dalam perkembangannya melahirkan ‘orde-orde tarekat’ yang bertebaran ke serata pelosok alam islami. Gerakan-gerakan tarikat sebagai bentuk pengawaman dan pemasyarakatan terakhir dari ajaran tasawuf, amat berjasa bagi penyebarluasan islam. Namun, konsep pengkeramatan (pemitosan) pada guru membinasakan daya kritik pemikiran Islam. Maka semenjak meluasnya ajaran orde-orde tarikat, kemerosotan kualitas pemikiran Islam tak bisa dihindarkan lagi. Dalam masa merosotnya kualitas pemikiran Islam yang bermula dengan runtuhnya kota Baghdad 1258 M., orde-orde tarikatlah yang memainkan peranan meluaskan penyebaran Islam ke wilayah timur sampai ke Nusantara.[2]

  1. Masuknya Tasawuf di Nusantara

Banyak sarjana yang mengkaji sejarah perkembangan Islam di Indonesia berpendapat bahwa sufi memainkan peran utama dalam Islamisasi di kepulauan Indonesia. Bahkan, Victor Tanja menulis, bahwa islam yang berkembang di kepulauan Indonesia adalah sufisme. Anthony H. John juga berpendapat bahwa sufisme secara langsung terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Dari abad 13-18 Masehi, menurut John, aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran Islam di Indonesia. Hal ini sesuai dengan dominan tarekat sufi di dunia islam setelah kejatuhan Baghdad pada 1258 Masehi. Para tokoh sufi selanjutya bergerak meninggalkan Baghdad dan mencari daerah-daerah damai di sebelah Timur dan dimana mereka bisa melanjutkan ajarannya dan menarik anggota baru.[3]

Menurut James Peacock dalam Purifying The Faith (1979), islam yang datang ke Jawa adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap kedalam sinkretisme Jawa. Keberadaan Suluk Wujil, Primbon Bonang, Suluk Linglung, Suluk Sukarsa, Suluk Sujinah, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Pustaka Rancang, Serat Dewa Ruci, dan Serat Cabolek menunjukkan bukti bahwa perkembangan islam di Jawa khususnya di era Wali Songo lebih didominasi oleh paham kesufian. Serat Dewa Ruci yang di kaitkan oleh tokoh Sunan Kalijaga, misal, pada dassarnya merupakan pengembangan nasskah Nawa Ruci, karya spiritual Hindu-Budha yang ditulis pada masa majapahit yang kemudian dimasuki paham-paham kesufian sedemikian rupa sehingga naskah Serat Dewa Ruci Seolah-olah karya baru pada zaman Islam.[4]

Sejauh yang dapat diketahui dalam penelusuran aliran aliran tasawuf paling awal yang masuk ke Nusantara, aliran tasawuf yang berkembang paling awal adalah Akmaliyah, Syatariah dan lain-lain. Diantara tokoh pada era Wali Songo yang secara terbuka mengajarkan tarekat adalah Syaikh Datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut dengan gelar Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar.[5]

Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran tasawuf di Nusantara, Aceh merupakan wilayah yang tidak bisa ditinggalkan khususnya dari sejarah indonesia. Untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di Indonesia, Aceh menempati posisi paling atas karena nantinya yang akan mewarnai perkembangan tasawuf di Nusantara. Menelusuri aliran-aliran yang ada di nusantara, maka hal ini tidak bisa lepas dari andil tokoh-tokoh yang belajar di Timur tengah umtuk mendalami ilmu Tasawuf. Diantara para pelopor aliran tasawuf nusantara yang belajar di timur tengh  antara lain: Nuruddin ar-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdur Rouf As-Sinkili, dan Syamsuddin al-Sumatrani.

Dalam sejarah Tasawuf Nusantara paham tasawuf yang pertama kali masuk di nusantara adalah tasawuf model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariat. Hal ini disebabkan adanya kemiripan antara ajaran yang dianut masyarakat pra-islam dengan ajaran tasawuf model ini.

Ajaran kosmologi dan metafisis tasawuf ibn Arabi yang dibawa Hamzah Fansuri  dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep insan al-kamil, sebagaimana dikemukakan oleh A.C Milner, sangat potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja, yang mana tidak dikemukakan dalam islam yang berkembang pada masa sebelumnya, yang lebih egaliter[6].

Pemikiran sufisme Aceh abad 17 ini amat diwarnai faham “martabat tujuh” dari ajaran sufi India, Muhammad ibnu Fadhillah al-Burhanpuri. Dan martabat tujuh yang mewarnai sufi aceh ini pengaruhnya menyebar ke Jawa Barat dan mewarnai pemikiran Islam Kejawen yang berkembang di Surakarta hingga abad ke 19 M.[7]

Adapun martabat tujuh yang terdapat dalam kitab al-Tuhfat al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy karya Muhammad ibn Fadhillah al-Burhanpuri merupakan pengembangan dari paham Wahdatul Wujud ibn Arabi. Martabat tertinggi disebut dengan Ahadiyah (Ke-esa-an yang murni, yaitu zat semata). Tingkat di bawahnya Wahdah, (ke-esa-an yang mengandung kejamaan dan hakikat ke-Muhammad-an, yang disebut Nur Muhammad). Martabat Wahdah ini juga disebut dengan Ta’yun awwal, yakni ibarat allah pada zat dan sifat-sifatNya sendiri serta segala yang wujud ini secara global, tanpa pemisahan satu terhadap yang lain. Martabat di bawahnya adalah Wahidiyah (ke-esa-an yang terperinci), dan disebut pula dengan hakikat manusia. Martabat ini disebut dengan Ta’yun tsani, yakni ibarat ilmu allah terhadap zat dan ssifat-sifatNya serta terhadap segala yang ada ini secara terperinci dan terpisah satu sama lain. Ketiga martabat tersebut bersifat Qodim dalam arti Taqdim dan Ta’khir secara definitif bukan waktu.

Di bawah ketiga martabat di atas adalah martabat alam arwah, yaitu ibarat segala sesuatu dari yang ada di alam ini dalam keadaan murni dalam keadaan yang atomis zatnya. Satu tingkat di bawahnya lagi adalah alam misal, yaitu ibarat segala sesuatu kebendaan tersusun dalam susunan yang halus sehingga tak bisa dipisah-pisah dengan yang lainya. Di bawah alam ini adalam martabat alam jism (ke-benda-an), yakni, ibarat ke-benda-an tersusun yang tampak tebal tipisnya, sehingga bisa dipotong potong atau dipisah-pisahkan bagianya. Martabat paling bawah adalah martabat alam insan. Martabat ini mencakup semua martabat di atas, baik yang rohani (nurani) dan jasmani, Wahdah dan Wahidiyah,  yang ilahi dan yang tampak dalam berbagai pakaian.[8]

  1. Perkembangan Tasawuf di Nusantara

Sejak kedatangan Islam ke nusantara telah tampak unsur-unsur tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian  tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya.

Semenjak kedatangan Islam di Nusantara paham Tasawuf mulai mewarnai kehidupan masyarakat pribumi. Para pelopor dakwah di Indonesia, pertama-tama memperkenalkan tauhid kepada orang-orang kala itu yang masih menganut Hindu-Budha. Setelah mereka memeluk Islam para da’i menunjukkan cara terbaik mengaktualisasikan diri dalam proses transformasi spiritualitas dan moralitas keagamaan. Melalui keteladanan yang baik, pendidikan dilancarkan agar terbentuknya sifat-sifat terpuji dan kemampuan melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun para da’i tidak memproklamasikan aliran tasawufnya, dalam melaksanakan dakwah mereka namun sebenarnya mereka mempraktekkan tradisi dalam tasawuf, sebab tasawuf mengarahkan pada moralitas agama.  Hal demikian yang telah dilakukan penyebar Islam awal di Indonesia seperti Wali Songo dan Syekh Siti Jenar.[9]

Sekitar abad ke 15-16 M. Wali songo sangat berperan penting dalam menyebarkan Islam di Bumi Nusantara. Para wali sembilan tersebut tidak lepas menggunakan tasawuf dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Adapun bukti bukti yang dapat kita lihat adalah beberapa karya dari Wali songo yang bernuansa Tasawuf. Antara lain Suluk Wujil, sebuah karya sastra sufistik  yang dibuat oleh Sunan Bonang. Poerbatjaraka dalam sebuah tulisan yang berjudul “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Wudjil)” yang dimuat dalam Majalah Djawa vol. XVIII tahun 1938, menyimpulkan bahwa ajaran tasawuf yang disampaikan sunan Bonang dalam Suluk Wujil sifatnya rahasia (esoteris). Ungkapan Suluk Wujil yang bisa digolongkan rahasia, adalah yang menyangkut bahasan hakikat Ketuhanan. Selain itu Sunan Bonang juga mempunyai sebuah naskah Primbon Bonang (Het Boek van Bonang). Isi Primbon Bonang sejatinya lebih merupakan ikhtisar bebas dari kitab Ihya’ Ulumuddin karya al Ghozali dan kitab Tamhid  ( fi Bayan at Tauhid wa Hiddayati li Kulli Mustarasyid wa Rosyid) karya Abu Syakur bin Syuaib al Kasi al Hanafi al Salimi. Pembahasan dalam primbon tersebut bersifat dialogis berupa tanya jawab antar guru dengan murid.

Diantara Wali Songo lain, Sunan Kalijaga juga memainkan dakwahnya dengan metode pendekatan sufistik melalui karya sastra, antara lain adalah Serat Dewa Ruci, Suluk Linglung atau Suluk Syaikh Malaya. Serat Dewa Ruci adalah hasil Modifikasi yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dari cerita Lakon Nawa Ruci dari Hindu-Budha. Lakon Dewa Ruci ini mengisahkan tentang perjalanan ruhani yang dilakukan oleh Bima mencari kebenaran di bawah bimbingan dari Baghawan Drona sampai ia bertemu dengan Dewa Ruci. Sedangkan dalam Suluk Linglung mengisahkan pengalaman ruhani yang dialami Syaikh Malaya (Sunan Kalijaga) dengan nabi Khidir sewaktu memasuki alam yang terbalik dengan alam dunia. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru ruhani yang mengajarkan tarekat Syatariyah dari Sunan Bonang yang sampai sekarang ini masih diamalkan oleh para pengikutnya di berbagai tempat di Nusantara.[10]

Menurut Khan Sahib Khaja Khan (1987), dikalangan sufi terdapat dua paham pemikiran besar yang dianut oleh tarekat tarekat sufi. Salah satunya adalah Paham Wujudiyah, paham ini dikenal dengan sebutan Wahdatul Wujud. Para penganut paham ini berkeyakinan bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju ‘Ain-nya.

Di Nusantara, tokoh paham Wujudiyah dari penyebar dakwah islam era Wali Songo yang terkenal adalah Syaikh datuk Abdul Jalil yang masyhur disebut dengan gelar Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Siti Jenar. Seperti nasib penyebar Wujudiyah al Hallaj, tokoh Syaikh Lemah Abang  dalam historiografi Jawa dikisahkan dijatuhi hukuman bunuh oleh Wali Songo. Seorang murid Syaikh Lemah Abang yang menjadi penguasa pengging, Kebo Kenongo yang masyhur disebut Ki Ageng Pengging, juga dikisahkan dibunuh oleh Sunan Kudus yang dituduh makar terhadap Sultan Demak. Namun, dengan terbunuhnya Syaikh Lemah Abang dan Ki ageng Pengging Paham Wujudiyah tidak serta merta hilang karna belakangan muncul tokoh-tokoh Wujudiyah lain seperti Pangeran Panggung, Syekh Amongraga, Kyai Mutamakkin dan lain-lain.

Pada generasi Islamisasi mungkin bisa dibilang banyak penyebar Islam Nusantara yang bernafaskan Tasawuf tapi sedikit yang tercatat, lain halnya dengan para Sufi dari aceh. Pada abad ke 16-17 M. banyak sekali sufi yang bermunculan antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrouf al-Sinkili. Dari tokoh-tokoh diatas nantinya tasawuf mulai berkembang pesat di Nusantara. Pengaruhnya pun tidak hanya di wilayah Jawa, namun juga hingga ke Negeri Perak, Perlis, Kelantan, Terengganu dan lain lain. 

Pada masa ini nantinya tasawuf akan didominasi oleh faham heterodoks Wahdatul Wujud dari Ibnu ‘Arabi. Namun, disamping itu juga muncul ajaran-ajaran yang berasal dari al Ghozali yang lebih ortodoks dan menghargai Syariat.  Yang mana pengaruh dari faham yang dibawa al-Ghozali perlahan akan mendesak faham Wahdatul Wujud dari Ibnu ‘Arabi.[11]

Beberapa sumber pribumi yang kita punyai secara tegas mengemukakan bahwa terekat-tarekat mendapatkan pengikutnya, pertama-tama, di lingkungan istana dan lama kemudian barulah merembes ke kalangan masyarakat awam. Tarekat dipandang sebagai sumber kekutan spiritual, sekaligus melegitimasi dan mengukuhkan posisi raja.

Menjelang abad ke 18, berbagai tarekat memperoleh pengikut yang tersebar di Nusantara. Orang-orang yang baru kembali dari Mekah dan Madinah menyebarkan tarekat Syatariyah, sering kali dengan perpaduan dengan Naqsyabandiyah atau Kholwatiyah. Memang, sepanjang abad itu tarekat Rifa’iyah dan Qodiriyah sudah tersebar. Yang pertama berkaitan dengan kultus kekebalan tubuh yang disebut debus, yang sisa-sisanya dapat dijumpai di Aceh, Minangkabau, Banten, Cirebon dan Maluku. Yang kedua mungkin di tempat-tempat tertentu juga mempunyai hubungan dengan debus, tetapi dampaknya paling mencolok adalah munculnya kultus terhadap wali pendirinya, Syaikh Abdul Qodil al Jilani.

Barangkali tarekat pertama yang memperoleh banyak pengikut di Nusantara yang benar-benar dapat dimobilisasi adalah tarekat Sammaniyah. Di Kalimantan selatan pada tahun 1860-an, belanda menghadapi perlawanan serupa dari gerakan rakyat yang kuat yang menjalankan amalan-amalan bercorak sufi yang disebut beratip beamal dimana kita mungkin dapat juga menyaksikan adaptasi setempat dengan tarekat sammaniyah.

Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 tarekat mengambil bagian dalam pemberontakan antikolonial. Salah satu pemberontakan yang paling besar terhadap pemerintah belanda terjadi di Banten (Jawa Barat) pada tahun 1888; disini tarekat Qodiiyah wa Naqsyabandiyah-lah yang terlibat.  Tarekat lain yang memperoleh banyak pengikut di Nusantara selama masa tersebut adalah tarekat Ahmadiyah, salah satu tarekat yang berasal dari salah satu sufi dari maroko, Ahmad ibn Idris.  Sekitar Akhir tahun 1920-an ada dua tarekat baru di Jawa, yakni tarekat Tijaniyah dan Idrisiyah. [12]

Selain banyak tarekat yang berasal dari luar, di Nusantara sendiri juga mempunyai beberapa tarekat  lokal. Pada abad ke 19 ada satu tarekat lokal yang nampaknya berpengaruh, tarekat tersebut adalah tarekat Akmaliyah (atau Haqmaliyah), yang memperoleh banyak pengikutnya di Cirebon-Banyumas. Beberapa mursyid awal tarekat Akmaliyah ini, adalah Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan belakangan Sultan Agung hanyokrokusumo[13]

Sejumlah tarekat lokal, baru muncul di Jawa Timur setelah kemerdekaan, yang paling terkenal diantaranya adalah tarekat Syiddiqiyah dan Wahidiyah. Tarekat Syiddiqiyah sendiri dipimpin oleh Kiai Muhtar dari Ploso, Jombang (Jawa Timur. Adapun tarekat Wahidiyah didirikan oleh Kiai Abdul Madjid Ma’ruf dari pesantren Kedunglo di Kediri pada awal tahun 1960-an.[14]

  1. Tokoh-Tokoh Pengembang Tasawuf di Nusantara

1.      HAMZAH FANSURI

            Hamzah Fansuri adalah seorang ulama sufi dan sastrawan yang hidup pada abad ke-16 M. Ia 'berasal dari Barus (sekarang berada di provinsi Sumatera Utara). Nama 'al-Fansuri' sendiri berasal dari arabisasi kata Pancur, sebuah kota kecil di pesisir Barat Tapanuli Tengah dekat kota bersejarah Barus.

            Hamzah Fansuri merupakan sufi pertama yang mengajarkan tasawuf berpaham wujudiyah (panteisme) di Nusantara. Tasawuf paham wujudiyah diperoleh Hamzah Fansuri dari Ibnu ‘Arabi, Abu Yazid al-Bisthami, al-Hallaj, al-Rumi, al-Attar, al-Jami, dan lainlain[15]. Beliau mempunyai banyak karya-karya di bidang tasawuf seperti Asror al-Arifin dll. Tetapi karya-karya beliau sulit ditemukan dizaman sekarang, karena banyak karya beliau yang telah dimusnahkan oleh pihak yang menentang ajarannya[16].

            Ajaran wujudiyah  Hamzah Fansuri dapat diringkas sebagai berikut,

Pertama,  pada hakikatnya zat dan wujud Tuhan sama dengan wujud Alam. Kedua, tajalli  alam dari dzat dan wujud Tuhan pada tataran awal adalah Nur Muhammad pada hakikatnya adalah nur Tuhan. Ketiga, Nur Muhammad adalah sumber dari ciptaan ,dan pada hakikatya wujud dan dzat ciptaan itu adalah wujud allah. Keempat, Manusia sebagiai mikrokosmos harus berusaha mencapai kebersamaan diri dengan tuhan dengan tarkud dunya. Kelima Usaha tersebut harus dipimpin oleh guru yang berilmu. Keenam Manusia yang berhasil mencapai kebersamaan dengan tuhan adalah ma’rifat yang sebenar-benarnya dan mencapai taraf ketiadaan diri (fana’ fi  Allah)[17]

2.      SYAMSUDDIN as-SUMATRANI

Syekh Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama besar Aceh Yang hidup pada abad 16 dan wafat pada abad 17 Masehi.

Beliau merupakan murid dari ulama besar Hamzah Fansuri, dibuktikan dengan adanya dua karya Syamsuddin Sumatrani yang tentang ulasan atau syarah terhadap ajaran Syekh Hamzah Fansuri yaitu Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Ikan tongkol.

            Ajaran Syekh Syamsuddin tidak berbeda dengan ajaran Syekh Hamzah, dimana keduanya merupakan tokoh utama penafsiran sufisme wahdat al-wujud , yang bersifat sufistik-filosofis.[18]

3.      NURUDDIN AR-RANIRI

            Beliau memmpunyai nama lengkap Nur al-Din Muhammad bin Ali bin Hasanji al-Humaidi al-‘Aidruisi. Nama Ar-Raniri yang melekat pada dirinya merupakan nama daerah tempat beliau dilahirkan yaitu Ranir, salah satu kota di India.

Ayahnya merupakan keturunan Hadramaut dan ibunya merupakan keturunan Melayu. Walaupun beliau dilahirkan di Ranir, India, tapi secara umum beliau dianggap sebagai seorang ‘alim Melayu-Indonesia, dari pada India atau Arab. Nuruddin pun mencari puncak karirnya di kepulauan Melayu-Indonesia, tepatnya di Aceh.

            Al-Raniri datang di Aceh pada 1407 H/ 1631 M, pada pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637-1641 M.). Beliau merupakan ulama sufi yang menentang ajaran dan ide-ide Hamzah Fansuri maupun Syamsuddin, yang dipandang beliau sesat atau bid’ah.

            Sejumlah tulisan penting karya Al-Raniri dicurahkan sepenuhnya pada polemik ini dan menolak apa yang dia pandang sebagai tulisan-tulisan syirik Hamzah dan Syamsuddin serta pengikutnya. Diantara karya itu adalah Jawahirul Ulum fi kasyf al-Ma’lum, yang di dalamnya ditegaskan secara jelas posisi al-Raniri dan sebuah kritikan tajam terhadap ajaran-ajaran pendahulunya.

            Meskipun Al-Raniri menolak keras tentang ajaran wahdatul wujud  perlu dicatat, bahwa beliau sebenarnya tidak menentang semua bentuk penafsiran doktrin wahdatul wujud. Beliau membedakan doktrin ini menjadi dua macam. Yang pertama, wajudiyyah mulihid, yaitu kesatuan wujud ateistik yang dalam pandangannya merupakan ajaran sufisme yang bathil. Kedua, wujudiyah muwahhid, kesatuan wujud unitarianistik yang menurut Ar-Raniri merupakan ajaran sufisme yang baik dan benar. [19]

4.      ABDUR ROUF AS-SINKILI

             Ulama lain yang mendominasi Kesultanan Aceh pada paroh abad 17, adalah Abdur al-Rouf bin Ali Al-Fansuri al-Sinkili (1024-1105 H/ 1615-1693 M), lebih dikenal Abdur Rouf Sinkel atau al-Sinkli. Beliau merupakan seorang tokoh ulama yang terus menghubungkan Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia dengan Islam di Timur Tengah.  Inti ajaran beliau adalah keharmonisan antara syariat dengan aspek sufistik Islam. Sufisme harus selalu bergandengan dengan Syariat. Beliau percaya bahwa hanya dengan kepatuhan total pada syariat para penganut jalan sufistik dapat memperoleh pengalaman sejati tentang haqiqat.

            Perlu diketahui, bahwa As-sinkili berbeda dengan Ar-Raniri dalam menegakkan keharmonisan antara haqiqat dan syariat. As-Sinkili merupakan tipe ulama yang moderat, pendamai, dan menjauhi sifat-difat radikal. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan-pandangannya terhadap wujudiyyah yang lebih tersirat daripada tersurat.[20]

 

B.    KESIMPULAN  

Semenjak kedatangan Islam, Nusantara mengalami wajah baru dengan tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakatnya, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasawuf masih tampak menjadi bagian  tak terpisahkan dari pengalaman keagamaan sebagian kaum musliminnya. Bisa dikatakan dengan kemjuan seperti itu terdapat tokoh-tokoh yang mempunyai andil besar, seperti Wali Songo, Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar-Raniri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Abdur Rouf Sinkel yang telah mengenalkan Tasawuf di kepulauan Nusantara.


DAFTAR PUSTAKA

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesaantren, dan Tarekat: tradisi islam di Indonesia Bandung : Mizan, 1999

Huda, Nor, Islam Nusantara, Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2014.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemeurniannya, Jakarta: Panjimas, cet. 12, 1993.

Sunyoto, Agus , Atlas Wali Songo, Tangerang Selatan: Pustaka IIMaN, 2018.

Yustiono, Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok, Bandung: Yayasan Festival Istiqlal, 1993.

Aryuita, Pengantar Tasawuf Nusantara, dalam http://aryunitablangpidie.blogspot.com/2013/01/pengantar-tasawuf-nusantara.html, diakses pada 24 Desember 2021

Bashri, Hasan, Tarekat Akmaliyah dan Malamtiyah di Jawa,dalam langgar.co/tarekat-akmaliyah-dan-malamatiyah-di-jawa/, diakses pada 25 Desember 2021

Iqbal, Muhammad,, Konsep Tasawuf Menurut Syekh Hamzah Fansuri,  dalam https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/65757347/KONSEP_TASAWUF_MENURUT_SYEKH_HAMZAH_FANSURI-with-cover-page-v2.pdf, diakses pada 24 Desember 2021


Editor: Ibnu Hajar

Tasawuf Di Bumi Nusantara

  Secara historis, Tasawuf   telah berkembang sejak awal kelahiran Islam ( sekitar abad pertama dan kedua Hijriyyah atau abad VIII Masehi) t...